WELCOME TO MY WORLD



Minggu, 04 Desember 2011

LAPORAN HASIL PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK II - STOIKIOMETRI KOMPLEKS AMIN-TEMBAGA (II)


I.             Judul Percobaan       : Stoikiometri Kompleks Amin-Tembaga (II)
II.          Tujuan Percobaan    : Menentukan rumus molekul amin-tembaga (II)
III.       Dasar Teori

Dalam ilmu kimia, kompleks atau senyawa koordinasi merujuk pada molekul atau entitas yang terbentuk dari penggabungan ligan dan ion logam. Dulunya, sebuah kompleks artinya asosiasi reversibel dari molekul, atom, atau ion melalui ikatan kimia yang lemah. Pengertian ini sekarang telah berubah. Beberapa kompleks logam terbentuk secara irreversibel, dan banyak di antara mereka yang memiliki ikatan yang cukup kuat

Sejarah

Senyawa-senyawa kompleks telah diketahui - walaupun saat itu belum sepenuhnya dimengerti - sejak awal ilmu kimia, misalnya Prussian blue dan Tembaga(II) sulfat. Terobosan penting terjadi saat kimiawan Jerman Alfred Werner, mengusulkan bahwa ion kobalt(III) memiliki enam ligan dalam struktur geometri oktahedral. Dengan teori ini, para ilmuwan dapat mengerti perbedaan antara klorida koordinasi dan klorida ionik pada berbagai isomer-isomer kobalt amina klorida, dan menjelaskan kenapa senyawa ini memiliki banyak isomer, yang sebelumnya tidak dapat dijelaskan. Werner juga menggolongkan senyawa kompleks ini kepada beberapa isomer optis, mematahkan teori bahwa hanya senyawa karbon yang memiliki sifat khiralitas.

Tatanama kompleks

Pada dasarnya, dalam menamai sebuah senyawa kompleks:
  1. Dalam menamai sebuah ion kompleks, ligan disebutkan sebelum ion logam
  2. Nama-nama ligan dituliskan sesuai urutan alfabetis. (awalan yang menunjukkan jumlah tidak memengaruhi urutan alfabetis)
    • Berikan awalan pada ligan-ligan sesuai jumlahnya. Ligan-ligan monodentat memiliki awalan : di-, tri-, tetra-, penta-, heksa-, dst. sesuai jumlahnya. Ligan-ligan polidentat diberi awalan bis-, tris-, tetrakis-, dst.
    • Ligan anion diakhiri dengan huruf 'o', misalnya sulfat menjadi sulfato, dan jika anion tersebut memiliki akhiran -ida, maka akhiran tersebut dihilangkan misalnya sianida menjadi siano.
    • Ligan netral diberikan nama umumnya, kecuali amina untuk NH3, aqua atau aquo untuk H2O, karbonil untuk CO, dan nitrosil untuk NO
  3. Tuliskan nama ion/atom pusat. Jika ion kompleks tersebut merupakan sebuah anion, nama atom pusat diakhiri dengan -at, dan menggunakan nama Latinnya. Jika tidak, maka atom pusat dituliskan dengan nama umumnya dalam bahasa Indonesia. Jika diperlukan, tulis bilangan oksidasinya dalam angka romawi (atau 0), dalam tanda kurung.
  4. Jika kompleks tersebut merupakan senyawa ion, tuliskan nama kation sebelum nama anion dipisahkan dengan spasi. Jika kompleks tersebut merupakan ion bermuatan, tuliskan kata "ion" sebelum nama kompleks tersebut
Contoh:
[NiCl4]2− → ion tetrakloronikelat(II)
[CuNH3Cl5]3− → ion aminapentaklorokuprat(II)
[Cd(en)2(CN)2] → disianobis(etilendiamin)kadmium(II)
[Co(NH3)5Cl]SO4 → pentaaminaklorokobalt(III) sulfat
    Senyawa yang tersusun atas satu atom pusat, biasanya logam atau kelompok atom seperti VO, VO2, dan TiO yang dikelilingi oleh sejumlah anion atau molekul netral disebut senyawa kompleks. Anion atau molekul netral disebut senyawa kompleks. Anion atau molekul netral yang memiliki atom pusat atau kelompok atom itu disebut dengan ligan. Jika ditinjau dari sistem asam-basa lewis, atom pusat atau kelompok atom dalam senyawa kompleks tersebut bertindak sebagai asam lewis, sedangkan ligannya bertindak sebagai basa lewis. Ikatan yang terjadi antara ligan dan atom pusat merupakan ikatan kovalen koordinasi. Sehingga senyawa kompleks disebut pula senyawa koordinasi. Jumlah muatan kompleks ditentukan dari penjumlahan muatan ion pusat dan jumlah muatan ligan yang membentuk kompleks.

Senyawa molekular yang mengandung logam transisi blok d dan ligan yang disebut senyawa koordinasi. Bilangan koordinasi ditentukan oleh ukuran atom logam pusat, jumlah elektron d, efek sterik ligan. Dikenal kompleks dengan bilangan koordinasi antara 2 dan 9. Khususnya kompleks bilangan koordinasi 4 sampai 6 adalah yang paling labil secara elektronik dan secara geometri dan kompleks dengan bilangan koordinasi 4-6 yang paling banyak dijumpai (Anonim, 2010).

Menurut anonim (2010) kompleks dengan berbagai bilangan koordinasi dideskripsikan menjadi enam bagian:
1.       Kompleks bilangan koordinasi dua
2.       Kompleks bilangan koordinasi tiga
3.       Kompleks bilangan koordinasi empat
4.       Kompleks bilangan koordinasi lima
5.       Kompleks bilangan koordinasi enam
6.       Kompleks bilangan koordinasi lebih tinggi dari enam

`           Proses pembentukan senyawa kompleks koordinasi adalah perpindahan satu atau lebih pasangan elektron dari ligan ke ion logam. Jadi, ligan bertindak sebagai pemberi elektron dan ion logam sebagai penerima elektron. Sebagai akibat dari perpindahan kerapatan elektron ini, pasangan elektron menjadi kepunyaan bersama antara ion logam dan ligan, sehingga terbentuk ikatan pemberi penerima elektron. Keadaan-keadaan antara mungkin saja terjadi, namun jika pasangan elektron itu terikat kuat pada kedua sarah tersebut, maka ikatan kovalen sejati dapat terbentuk. Bergantung pada susunan elektronnya, ion logam dapat menerima sejumlah pasangan elektron, sehingga ion logam itu dapat berikatan koordinasi dengan sejumlah ligan. Jumlah ligan yang dapat diikat oleh ion logam itu disebut bilangan koordinasi senyawa kompleks.

Pada beberapa senyawa kompleks koordinasi, ikatan antara ion logam dan ligan tidak begitu kuat. Bila dilarutkan dalam air, senyawa-senyawa kompleks yang memiliki bilangan koordinasi lebih dari satu berlangsung secara bertahap dalam penambahan ligan satu persatu. Mula-mula sekali terbentuk senyawa kompleks 1:1 antara ion logam dan ligan, kemudian 1:2 dan seterusnya. Misalnya pembentukan senyawa kompleks antara ion tembaga dan ligan NH3 .

Bilangan koordinasi menyatakan jumlah ruangan yang tersedia disekitar atom atau ion pusat dalam apa yang disebut bulatan koordinasi, yang masing-masingnya dapat dihuni satu ligan (monodentat). Bilangan koordinasi untuk ion tembaga dalam [Cu(NH3)4]2+ adalah 4. Kristal CuCl2. 6H2O dan kristal CuSO4. 5H2O adalah kristal yang berhidrat atau mengikat air, sehingga jika dilarutkan dalam pelarut air akan menyebabkan kristal Cu2+ berhidrat menjadi lebih banyak dilingkupi oleh air (proses sulvasi), sehingga pembentukan senyawa kompleks Cu (II) akan sulit dan berlangsung lambat. Namun apabila kristal berhidrat tersebut dilarutkan dalam pelarut yang mengikat hidrat , seperti alkohol 96%, maka proses pembentukan senyawa kompleks Cu (II) akan lebih mudah dan berlangsung cepat. Ammonia merupakan ligan netral yang penting yang membentuk kompleks dengan ion logam .

Pembentukan senyawa kompleks tembaga dari ion Cu2+, maka kompleks tembaga yang terbentuk akan mempunyai bilangan koordinasi enam.
Dimana empat ligan bertetangga dalam bidang segiempat dan dua ligan lainnya saling tegak lurus pada bidang segi empat itu.  Kompleks tersebut membentuk struktur oktahedral (sp3d2) (Hala, 2006).
Ion Cu2+ termasuk dalam sistem d9, distorsi disini sangat besar, hingga (Cu(NH3)4)2+ berbentuk planar segiempat.  Sebenarnya ada dua molekul H2O dalam kompleks tersebut, tetapi jaraknya dengan ion pusat sangat jauh dibanding dengan tempat NH3 yang ada.  Karena itu kadang-kadang kompleks tersebut ditulis sebagai :  (Cu(NH3)4(OH2)2)2+.  Distorsi dari struktur  yang simetris akibat tingkatan energi yang sebagian terisi, dalam hal ini sub tingkatan d, disebut distorsi Jhon-Teller.  Struktur oktahedral low spin juga mengalami distorsi.  Sistem d6 low spin, mirip dengan d3 high spin.  Keenam e- mengisi orbital t2g, adanya e- diantara sumbu-sumbu tidak menyebebkan distorsi (Sukardjo,1985).
            Senyawa-senyawa kompleks yang memiliki bilangan koordinasi lebih dari satu berlangsungsecara bertahap dengan penambahan ligan satu per satu.  Mula-mula sekali terbentuk senyawa kompleks 1:1 antara ion logam dengan ligan, kemudian 1:2 , dan seterusnya.  Misalnya pembentukan senyawa kompleks ion tembaga dan ligan NH3 sebagai berikut :
            Cu2+  +  NH3     --->       (Cu(NH3))2+
                (Cu(NH3)) + NH3       --->       (Cu(NH3)2)2+
                (Cu(NH3)2) + NH3      --->  (Cu(NH3)3)2+
                (Cu(NH3)3)2+ + NH3    --->     (Cu(NH3)4)2+
Namun demikian, perlu dicatat bahwa beberapa zat yang berbeda-beda bisa hadir secara bersamadalam sistem di atas persentasenya senyaw kompleks tembaga (II) amonia yang berbeda-beda disajikan sebagai fungsi kepekatan ligan bebas (L=NH3).  Sedangkan ligan yang tidak bermuatan selalu  berupa ligan beratom banyak sehingga merupakan molekul, misalnya NH3 dan amina alifatik.  Sifat umum semua ligan ditentukan oleh adanya pasangan elektron bebas (Rivai, 1994).
Salah satu dari sifat kompleks tembaga pada umunya adalah berinteraksi dengan medan magnet, bersifat paramagnetik.  Hal ini disebabkan karena atom pusat Cu2+ memiliki e- tunggal pada orbital 3d, yaitu 3 dxy, dan berakibat pada besarnya pengaruh medan magnet pada senyawa kompleks tersebut.  Senyawa kompleks dapat membentuk cis, trans, atau facial dan meridional.  Senyawa kompleks Cu(NH3)4SO4.H2O dan Cu(SO4)2(NH3)2.6H2O, kemungkinannya adalah membentuk isomer cis atau trans (Hala, 2006).

IV.             Alat dan Bahan
  •     Buret 50 ml, mikroburet 5 ml
  • Corong pemisah 250 ml
  • Erlenmeyer
  • Pipet gondok 10 ml
  • Beker gelas
  • Larutan Standar H2C2O4 0,1 M, Dibuat dengan melarutkan 0,63 gram H2C2O4.H2O dalam air sedemikian sehingga volume mencapai 50 ml
  • Larutan ammonia 1 M, Dibuat dengan melarutkan 18,7 ml larutan NH3 25%, massa jenis 0,91 kg/lt, dalam air sedemikian sehingga volume menjadi 250 ml
  • Larutan Cu2+ 0,1M, Dibuat dengan melarutkan 6,242 gr  CuSO4.5H2O dalam air sedemikian sehingga volume menjadi 250 ml
  • Larutan HCL 0,055 M
  • Larutan NaOH 0.1M
  • Kloroform
  • Indicator PP

V.          Cara Kerja
1.      Standarisasi beberapa larutan
a.       Larutan NaOH
  • Siapkan buret 50 ml dan diiisi larutan NaOH yang akan distandarisasi
  • Siapkan 3 buah Erlenmeyer dan diisi dengan masing-masing 10 ml larutan standar H2C2O4 dan ditambah  2 tetes iindicator pp, kemudian dititrasi dengan larutan NaOH yang akan dititrasi
  • Hitung konsentrasi NaOH
b.      Larutan HCl
Dilakukan standarisasi larutan HCl dengan menggunakan larutan standar NaOH hasil standarisasi langkah a
c.       Larutan NH3
Dilakukan standarisasi larutan NH3 degan menggunakan larutan standar HCl hasil standarisasi langkah b.

2.      Penentuan koefisien distribusi ammonia antara air dan kloroform
  • Ditambahkan 10 ml larutan NH3 1M  (hasil standarisasi ) dan 10 ml larutan air ke dalam corong pemisah 250 ml. kocok agar homogeny .
  • Ditambahkan 25 ml kloroform ke dalam corong pemisah dan kocok selama 5-10 menit  (perhatikan cara mengocok)
  • Diamkan sebentar sehingga Nampak jelas ada dua lapisan. Kemudian pisahkan kedua lapisan tersebut
  • Dipindahkan 10 ml larutan kloroform ke dalam Erlenmeyer yang berisi 10 ml air dan ditambahkan indicator metal orange
  • Dititrasi secara perlahan larutan itu dengan larutan standar HCl 0,055 M menggunakan biuret  mikro 5 ml . titik ekivalen ditandai idengan terjadinya perubahan warna
  • Ulangi titrasi untuk 10 ml kedua dan kemudian sisanya
  • Dihitung koefisien distribusi ammonia dengan menggunakan persamaan
  • Kd= [ammonia] kloroform
  •         [ammonia] air

3.      Penentuan rumus kompleks Cu-amin
  • Langkah ini dilakukan serupa dengan langkah penentuan koefisien distribusi ammonia, hanya 10 ml air yang ditambahkam ke dalam corong pemisah diganti dengan 10 ml larutan Cu2+ 0,1 M
  • Dari langkah ini dengan menggunakan harga Kd, dapat dihitung jumlah ammonia yang dalam air dan kloroform.
  • Banyaknya mmonia yang terkomplekskan dapat dihitung dengan mengurangkan jumlah ammonia dalam kloroform dan air pada jumlah total ammonia awal. Dengan membandingkan jumlah mol ion Cu2+ dengan ammonia terkompleks dapat ditentukan dengan rumus kompleksnya.

VI.       Hasil Pengamatan
1.      Standarisasi NaOH + H2C2O4

Skala Awal (ml)
Skala Akhir (ml)
Volume NaOH (ml)
50
69
77
69
89
96
19
20
19

2.      Standarisasi HCl + NaOH
Skala Awal (ml)
Skala Akhir (ml)
Volume NaOH (ml)
56
62
61,6
68
5,6
6

3.      Standarisasi NH3
Volume HCL = 50 mL

4.      Penentuan koefisien distribusi ammonia antara air dan kloroform 
        NH3 + air  --->    bening +kloroform  --->  2 lapisan
Kloroform + metil orange dititrasi dengan HCl  --->   orange kemerahan
Volume HCl = 52 ml

5.      PEnentuan rumus kompleks Cu-amin
6.      NH3 (bening) + Cu2+ (biru bening)--->   larutan biru prusia + kloroform (bening)                terbentuk  2 lapisan , lapisan atas biru dan lapisan bawah bening.

Diambil 10 ml + H2O --->2 tetes meil orange = larutan hijau pekat. Larutan HCl  yang digunakan untuk titrasi 10 ml

7.        Standarisasi Larutan HCl + NH3
Skala Awal (ml)
Skala Akhir (ml)
Volume NaOH (ml)
0
50
50

VII.          Persamaan Reaksi
Cu(H2O)42+ + 6NH3    --->      Cu(NH3)62+ + 4H2O

VIII.       Pengolahan Data

1. Standarisasi beberapa larutan
a. Larutan NaOH
Volume H2C2O4 yang dipakai = 10 mL
[H2C2O4] = 0,1M
Volume NaOH yang dipakai = (19+20+19) mL = 19,33 mL
                                                            3

M NaOH . V NaOH = MH2C2O4. VH2C2O4
MNaOH= 0,1 M . 10 mL  = 0,0517 M
                        19,33 mL
b. Larutan HCl
Volume NaOH yang dipakai = 5,6 mL+ 6 mL/2 = 5,8 mL
[NaOH]baku = 0,0517 M
Volume HCl yang dipakai = 10 mL
MHCl. V HCl= M NaOH. V NaOH
MHCl = 0,0517 M . 5,8 mL / 10 mL = 0,0299 M


c. Larutan NH3
Volume HCl yang dipakai = 50 mL
[HCl] = 0,0299 M
Volume NH3 yang dipakai = 10 mL
[NH3]baku = 0,0299 M . 50 mL / 10 mL = 0.1495 M

2. Penentuan koefisien distribusi ammonia dalam air
Volume HCl yang dipakai = 52 ml
[HCl]baku = 0,0299 M
Volume NH3 dalam CHCl3 terpakai = 25 ml
[NH3]kloroform = 10mL. 0.1495 M / 25 mL = 0.0598
[NH3]air = [NH3]awal - [NH3]kloroform
= (0,1495 – 0,0598) M
= 0, 0897 M
          KD = [NH3] kloroform
                     [NH3] air

          KD = 0.0598 M   =  0,66
                     0.0897 M
3. Penentuan rumus kompleks Cu2+ ammin
Volume HCl yang dipakai = 10 ml
[HCl]baku = 0,0299 M
Volume NH3 dalam CHCl3 terpakai =  25 ml
[NH3]kloroform = 0,0598 M
[NH3]air bebas = 0,0897 M
[Cu-NH3] = [NH3]air - [NH3]kloroform
     = (0,0897 M – 0,0598 M)
     = 0,0299 M
Mol Cu : mol Cu-NH3 = mol [NH3]awal – mol [NH3]kloroform + mol[NH3]air bebas
  = 1.495  mmol – 0,598 mmol + 0,897 mmol
 Mol Cu           = 1,794 mmol
Mol Cu-NH3
Mol Cu = 1,794 mmol x mol Cu-NH3
= 1,794 mmol x 0,299 mmol
= 6 mmol
x = 6
IX.       Pembahasan

Prinsip dasar dari percobaan ini layaknya dalam proses ekstraksi pelarut dimana berlaku hokum distribusi yang menyatakan apabila suatu system terdiri dari dua lapisan campuran (solvent) yang tidak saling bercampur satu sama lain, dan ketika ditambahkan senyawa ketiga (zat terlarut), maka senyawa itu akan terdistribusi (terpartisi) kedalam kedua lapisan tersebut seperti yang telah dijelaskan oleh Nerst.

Pada percobaan percobaan kali ini bertujuan untuk menentukan rumus molekul kompleks ammin tembaga (II), dimana dilakukan 3 tahapan. Yang pertama yaitu standarisasi beberapa larutan, dalam hal ini larutan NaOH, HCl dan NH3. Standarisasi ini dilakukan untuk menentukan konsentrasi larutan yang sebenarnya. Yang kedua adalah penentuan koefisien distribusi amoniak antara air dan Kloroform, dan yang ketiga yaitu penentuan rumus kompleks tembaga ammin.

Pada standarisasi larutan NaOH digunakan larutan standar primer asam oksalat (H2C2O4). NaOH distandarisasi dengan asam oksalat karena NaOH merupakan larutan basa. Indikator yang digunakan haruslah dapat mengubah warna menjadi merah muda pada larutan yang bersifat basa. Konsentrasi NaOH setelah standarisasi diperoleh yaitu 0,0517 N, hasil standarisasi ini tidak sesuai dengan konsentrasi awal NaOH sebelum distandarisasi yaitu 0,1 N. Pada standarisasi larutan HCl, larutan standar yang digunakan adalah larutan standar NaOH yang telah distandarisasi
sebelumnya oleh asam oksalat.

HCl distandarisasi dengan NaOH karena HCl merupakan larutan asam maka harus distandarisasi dengan menggunakan larutan standar yang bersifat basa. Konsentrasi HCl setelah distandarisasi diperoleh 0,0299 N, hasil yang diperoleh cukup menyimpang jauh dari konsentrasi HCl awal yaitu 0,055 N. Konsentrasi NH3 yang diperoleh setelah standarisasi diperoleh yaitu 0,145 N cukup berbeda dengan konsentrasi NH3 yang dibuat yaitu 1 N. Dalam penentuan koefisien distribusi ammonia antara air dan kloroform dilakukan dengan pencampuran NH3 dan aquades didalam corong pisah yang kemudian dikocok selama 5-10 menit. Fungsi dari pengocokkan ini yaitu agar larutan dapat homogen. Setelah didiamkan maka akan Nampak adanya dua lapisan dimana pada bagian atas agak keruh dan bawahnya lebih
bening. Lapisan atas air dan NH3, lapisan bawah kloroform hal ini dikarenakan adanya perbedaan kepolaran antara senyawa kloroform dengan larutan amoniak dimana berat jenis kloroform (1,47 kg/L) lebih besar dibanding berat jenis air (1 kg/L). Penitrasian larutan kloroform dilakukan dengan menggunakan HCl sebagai titran hingga warna berubah menjadi merah muda, pada keadaan ini volume HCl yang digunakan yaitu 52 mL. Perubahan warna ini menandakan bahwa larutan menjadi asam dan pH larutan semakin menurun. Dimana kita ketahui bahwa HCl dapat berperan dalam penurunan nilai pH larutan sehingga larutan yang pada awalnya bersifat basa menjadi asam. Dari hasil perhitungan didapatkan besarnya konsentrasi NH3 dalam kloroform yaitu 0,0598 N, sehingga konsentrasi NH3 dalam air sebesar 0,0897 N.
 Dari kedua konsentrasi NH3 dalam masing-masing larutan dapat dihitung koefisien distribusi amonia yaitu sebesar 0,66. Dalam penentuan rumus kompleks ammin-tembaga(II) dilakukan pencampuran 10 mL larutan NH3 dengan 10 mL larutan ion Cu2+. Larutan bewarna biru keputihan yang menandakan warna Cu. Larutan ini ditambahkan dengan 25 mL larutan kloroform dan dikocok selama 5-10 menit. Larutan didiamkan sampai terbentuk dua lapisan. Lapisan atas adalah larutan Cu2+ dalam ammonia sedangkan lapisan bawah adalah larutan Cu2+ dalam kloroform. Diperoleh volume Hcl yang terpakai 10 ml dan volume NH3 25 ml. Dari perhitungan diperoleh Normalitas NH3 dalam CU2+ yang dikomplekskan adalah 0,0299 N. Untuk menentukan rumus kompleks ammin tembaga dari perhitungan diketahui mol Cu 0,1 N diperoleh 1.794 mmol dan mol NH3 dalam Cu2+ adalah 0,299mmol, sehingga perbandingan antara mmol Cu2+ dan mmol NH3 adalah 6 : 1 . Jadi rumus kompleksnya adalah [Cu(NH3)6]2+. Dalam percobaan ini menunjukkan bahwa atom Cu sebagai atom pusat dan NH3 sebagai ligannya.
Cu(H2O)42+ + 6NH3  ---> Cu(NH3)62+ + 4H2O

X.          Kesimpulan
1.      Bilangan koordinasi Cu2+ adalah empat yang menunjukkan bahwa ion pussat Cu2+ hanya mampu menyediakan empat ruanng untuk ditempati ligan NH3
2.      senyawa kompleks terbentuk dari ion logam dan ligan, senyawa kompleks ammin tembaga dapat terbentuk dengan menambahkan ammonia berlebih ke dalam larutan tembaga (II) yang telah diketahui jumlahnya, nilai koefisien distribusi amonia adalah sebesar 0,66. Jumlah mol NH3 yang terkomplekskan pada percobaan ini adalah sebesar 1,794 mmol. Dengan perbandingan antara mmol Cu2+ dan mmol NH3 adalah 1 : 6 sehingga rumus kompleks ammin tembaga yang diperoleh pada percobaan ini adalah [Cu(NH3)6]2+.



XI.       Daftar Pustaka

Rivai, Harrizul. 1995. Asas Pemeriksaan Kimia. Universitas Indonesia: Jakarta.
Shevla, G. 1990. Analisis Organik Kualitatif Makro Dan Semimakro. PT. Kalman  Media Pustaka. Jakarta.
Sutresna, Nana. 1996. Penuntun Belajar Kimia 3. Ganeca Exact: Bandung.
Tine, MK., dkk. 2005. Sains Kimia untuk SMA Kelas 2. Bumi Aksara: Jakarta
Vogel. 1985. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro. (Bagian    II). PT. Kalman Media Pusaka: Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar